Semasa hidup, dalam
satu kesempatan, kita pernah melihat situasi pertengkaran. Antara kawan dengan
kawan, kekasih dengan pasangannya, suami dengan istri, bawahan dan bos, sesama bos.
Bahkan saya dan anda pernah dan bisa saja terjebak dalam suatu pertengkaran. Istilah pertengkaran
mungkin terlalu kasar. Istilah ini sepertinya lebih pas dihubungkan dengan
kondisi yang tidak formal, misalnya dalam lingkungan bermasyarakat. Pada lingkungan
yang lebih formal, pada kantor, pada rapat dewan atau dalam urusan bisnis
lainnya, orang akan menyebutnya sebagai perdebatan.
Apapun istilahnya,
rasa-rasanya keduanya tetap sama saja, yakni suatu situasi dimana dalam sebuah diskusi, pembicaraan, tidak ada titik temu sudut pandang. Masing-masing pihak yang terlibat berpegang teguh pada sudut pandangnya dan parahnya, menafikkan dan menganggap rendah yang lainya. Tidak ada solusi, yang ada adalah pertengkaran.
rasa-rasanya keduanya tetap sama saja, yakni suatu situasi dimana dalam sebuah diskusi, pembicaraan, tidak ada titik temu sudut pandang. Masing-masing pihak yang terlibat berpegang teguh pada sudut pandangnya dan parahnya, menafikkan dan menganggap rendah yang lainya. Tidak ada solusi, yang ada adalah pertengkaran.
Mengingat kembali
apa yang telah terjadi, saya kadang berpikir mengapa suatu perdebatan atau
pertengkaran terjadi begitu sengit? Kenapa pembicaraan bukan dilingkupi suasana
kekerabatan? Kenapa kata-kata yang tidak enak didengar yang mendominasi
pembicaraan? Dan masih banyak pertanyaan mengapa lainnya..
Merenungi apa yang
sudah terjadi, saya pikir beberapa hal bisa menjadi penyebabnya :
- Pasangan diskusi adalah seseorang yang mungkin tidak pernah dibantah seumur-umur. Karena itu bantahan yang didengar akan menggugah naluri melawan. Naluri yang muncul bahkan terlalu liar sehingga argument yang muncul menjadi tidak masuk akal melalui ungkapan.. ah, kamu tidak apa – apanya; bila bukan karena mengingat ini itu, kamu tidak lagi ada disini;
- Pasangan diskusi mengangap diri telah berbuat banyak membantu. Karena itu orang lain haruslah mengikuti cara pandangnya dan tak perlu dibantah sebagai balas budi.
- Pasangan diskusi memandang diri sebagai seseorang yang kelasnya lebih tinggi, misalnya memandang diri sebagai bos, memandang diri lebih pandai dan pandangan diri eksklusif lainnya. Karena itu muncul pandangan bahwa saya lebih berkuasa dan yang lain harus menurut.
Mengutip tulisan
Chip Heath dan Dean Heath dalam bukunya Switch bahwa “ Sebagian orang mempunyai keengganan luar biasa terhadap pemecahan
masalah yang berasal dari luar. Kita semua percaya bahwa kelompok kita sendiri
(diri kita sendiri) yang paling cerdas. Dalam diri kita terdapat sang pawang yang
terus membisikan sejumlah rasionalisasi (pembenaran) “ ; bahwa kita yang
terbaik, yang lain buruk; kita superior, yang lain inferior. Bisa jadi inilah
penjelasan ilmiah atas alasan munculnya perdebatan sengit.
Saya mungkin
telah mengambil sikap keliru, dengan bersikap menjauhi pertengkaran dengan
tidak lagi berinteraksi bahkan tidak menemuinya. Tidak perlu lagi mencari
alasan untuk berjumpa karena kupikir tidak ada niat baiknya membahas semuanya
dalam kerangka berpikir yang lebih logis. Perjumpaan bisa saja terjadi dalam
setting yang tak terduga, namun bukan lagi untuk membahas yang telah terjadi
melainkan untuk sesuatu pembicaraan yang lain. Aku tidak ingin mendengar
kata-kata yang aneh lagi.
No comments:
Post a Comment
Please leave acomment.
I`ll Reply it soon