Thursday, November 19, 2015

Perdebatan atau Pertengkaran


Semasa hidup, dalam satu kesempatan, kita pernah melihat situasi pertengkaran. Antara kawan dengan kawan, kekasih dengan pasangannya, suami dengan istri, bawahan dan bos, sesama bos. Bahkan saya dan anda pernah dan bisa saja  terjebak dalam suatu pertengkaran. Istilah pertengkaran mungkin terlalu kasar. Istilah ini sepertinya lebih pas dihubungkan dengan kondisi yang tidak formal, misalnya dalam lingkungan bermasyarakat. Pada lingkungan yang lebih formal, pada kantor, pada rapat dewan atau dalam urusan bisnis lainnya, orang akan menyebutnya sebagai perdebatan.

Apapun istilahnya,
rasa-rasanya keduanya tetap sama saja, yakni suatu situasi dimana dalam sebuah diskusi, pembicaraan,  tidak ada titik temu sudut pandang. Masing-masing pihak yang terlibat berpegang teguh pada sudut pandangnya dan parahnya, menafikkan dan menganggap rendah yang lainya. Tidak ada solusi, yang ada adalah pertengkaran.
Mengingat kembali apa yang telah terjadi, saya kadang berpikir mengapa suatu perdebatan atau pertengkaran terjadi begitu sengit? Kenapa pembicaraan bukan dilingkupi suasana kekerabatan? Kenapa kata-kata yang tidak enak didengar yang mendominasi pembicaraan? Dan masih banyak pertanyaan mengapa lainnya..
Merenungi apa yang sudah terjadi, saya pikir beberapa hal bisa menjadi penyebabnya :
  1. Pasangan diskusi adalah seseorang yang mungkin tidak pernah dibantah seumur-umur. Karena itu bantahan yang didengar akan menggugah naluri melawan. Naluri yang muncul bahkan terlalu liar sehingga argument yang muncul menjadi tidak masuk akal melalui ungkapan.. ah, kamu tidak apa – apanya; bila bukan karena mengingat ini itu, kamu tidak lagi ada disini;  
  2.  Pasangan diskusi mengangap diri telah berbuat banyak membantu. Karena itu  orang lain haruslah mengikuti cara pandangnya dan tak perlu dibantah sebagai balas budi. 
  3.  Pasangan diskusi memandang diri sebagai seseorang yang kelasnya lebih tinggi, misalnya memandang diri sebagai bos, memandang diri lebih pandai dan pandangan diri eksklusif lainnya. Karena itu muncul pandangan bahwa saya lebih berkuasa dan yang lain harus menurut. 

Mengutip tulisan Chip Heath dan Dean Heath dalam bukunya Switch bahwa “ Sebagian orang mempunyai keengganan luar biasa terhadap pemecahan masalah yang berasal dari luar. Kita semua percaya bahwa kelompok kita sendiri (diri kita sendiri) yang paling cerdas. Dalam diri kita terdapat sang pawang yang terus membisikan sejumlah rasionalisasi (pembenaran) “ ; bahwa kita yang terbaik, yang lain buruk; kita superior, yang lain inferior. Bisa jadi inilah penjelasan ilmiah atas alasan munculnya perdebatan sengit.

Saya mungkin telah mengambil sikap keliru, dengan bersikap menjauhi pertengkaran dengan tidak lagi berinteraksi bahkan tidak menemuinya. Tidak perlu lagi mencari alasan untuk berjumpa karena kupikir tidak ada niat baiknya membahas semuanya dalam kerangka berpikir yang lebih logis. Perjumpaan bisa saja terjadi dalam setting yang tak terduga, namun bukan lagi untuk membahas yang telah terjadi melainkan untuk sesuatu pembicaraan yang lain. Aku tidak ingin mendengar kata-kata yang aneh lagi.

No comments:

Post a Comment

Please leave acomment.
I`ll Reply it soon

Please leave comment. I`ll Reply it soon

Subscribe via Email

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner