Finally …
tulisan perdananya diterbitkan. Upayanya selama ini tak sia-sia. Tersirat jelas diraut
wajahnya kepuasan dalam menikmati kesuksesannya.
Mungkin bagi orang lain, prestasi itu biasa-biasa saja, namu tidak baginya.
Menulis tentulah bukan suatu perkara mudah. Setidaknya
itu yang dia alami dan rasakan. Selama
ini Membaca saja kadang tak pernah tuntas untuk beberapa halaman. Sebelum akhirnya dinyatakan layak terbit oleh
editor, dalam proses penulisan ini banyak
literature dibaca nya berulang kali sebagai bahan perbandingan, menulis ulang,
merevisi serta menyempurnakannya. Ia juga mesti bolak-balik konsultasi dengan kawan
yang telah matang pengetahuannya dalam soal tulis menulis.
Ditanyai tentang
pandangan orang lain atas keberhasilan dimuatnya tulisan yang dibuat, ia dengan
gaya sederhananya berucap “ Seperti biasalah,, muncul koment setelah
majalah ini terbit. Isi komennya
beragam; fotonya bagus, atau isi tulisannya mantap., minta dipinjamkan
rujukan referensi yang saya kutip dalam tulisan. Ada banyaklah , namun esensi
isi kemnetar ada yang menambah motivasi untuk terus meningkatkan kemampuan menulis, ada juga yang secara tersembunyi
menyampaikan kok bisa tulisan yang kaya
gituan diterima editor..
Penolakan,
penerimaan ataupun no koment kadang
tanpa disadari memicu sikap dan tanggapan balik. Hukum aksi reaksi terimpelementasi. Dalam mata pelajaran ilmu, kuantitas sebuah aksi bisa dikalkulasi.
Berbeda halnya dengan aksi reaksi perasaan.
Terkadang output reaksi melebihi aksi
yang diterima sehingga tidak terjadi keseimbangan.
Terkait dengan
komunikasi dan responnya dan dalam kaitannya dengan aksi reaksi, ada dua hal
pasti yakni penerimaan dan penolakan. Komentar atau pandangan yang didengarkan
bisa saja diterima karena bermakna sebagaimana yang diharapkan. Isi komentar
ini terurai dalam kata-kata yang kita harap
dengarkan sebelum terucap dari orang lain. Lain halnya penolakan, kalimat yang
didengarkan benar-benar kontra dengan yang kita idamkan dan bayangkan
sebelumnya.
Dalam konteks
penolakan, terkadang kita tidak siap sehingga memunculkan naluri melawan . Nuansa
komunikasi berubah menjadi pedebatan sengit. Tanpa disadari seluruh gerak tubuh
pun ikut menguatkan penolakan atas umpan balik dalam berkomunikasi. Penolakan
melalui ucapan misalnya, mengucapkan kata yang langsung ataupun tidak langsung
menjatuhkan lawan bicara, membidik dengan melebih-lebihkan sisi lemah lawan
bicara. Bahasa tubuh penolakan antara
lain, senyum sinis, menunjuk nunjuk
lawan bicara.
Kadang dalam
kondisi perdebatan ini , sikap diam dan tersenyum tulus serta menghargai sisi
perbedaan pendapat ataupun ucapan maaf sekalipun menjadi hal yang susah didapat.. akan lebih
parah lagi bila sikap yang kita pilih adalah mundur selangkah untuk
mengumpulkan segala komentar negative guna diungkapkan pada momen kedepannya … semoga
kita selalu bisa lebih berkomunikasi
secara assertif dalam setip kesempatan.
No comments:
Post a Comment
Please leave acomment.
I`ll Reply it soon